Monday 21 December 2015

Pe-latar-an

Jejak peluh penuh rindu
Pada hampar bertabur batu
Rakit sudah terlanjur berlabuh
Di dermaga berlumur lusuh

Lalu, siapa aku ?
Dimana aku ?
Dan apa tujuanku ?
Bagaimana lalu ?

Lama sekali raga bergumul lempung
Tangis hati sadarkan sejenak merenung
Gerangan apa yang dirindui sebenarnya ?
Apa karena mencampakkan samudera ?

Friday 27 November 2015

Teh Hangat

Hening pagi pedesaan
Saat belaian embun pada rumput
Masih ada di pelataran halamanmu
Tak ragu ku sapu dengan seretan sandalku

Putih pagar kayumu
Tak lancip ujungnya memang
Lurus tegak berbaris
Seperti legiun yang siap menikam langit

Ku ketuk pintu jati itu
Kau buka sedikit, dan melihat ragaku
Lalu kau buka lebar-lebar pintumu
Wajah itu masih sama, lalu aku berkata ;

Boleh kah saya masuk ?
Mari, duduk di teras saja
Dan akan ku buatkan teh
Suami ku sedang pergi

Dia, Aku

Yang aku tau
Dia datang ketika aku . . .
Tidak tau
Dan saat itu
Aku . . .
Benar tau

Wednesday 25 November 2015

Rabu . . .

Rabu . . .
Aku rindu
Ditengah rintik deru hujan
Aku hangat
Dalam dekap masa lalu

Rabu . . .
Aku hidup
Di halaman luas sejuk bunga
Aku sendu
Bulan perlahan melahapnya

Rabu . . .
Entah semi
Entah kelabu

Khayalan Khayangan

Ingin jadi malaikat kah ?
Terlahir suci dengan segudang ketaatan
Tergaris riwayat pantaskan hakikat
Taburkan kebaikan dari kebaikan

Pernahkah terpikirkan ?
Malaikat pun juga ingin menikah
Tak bisa tapi
Karena belum dikhitan

Dari mana aku tahu ?
Mereka sendiri yang bilang
Betapa enaknya jadi aku
Satu dari mereka menawarkanku

Ya, untuk bertukar
Tapi aku tolak
Mentah-mentah
Apa enaknya jadi mereka

Yang ditakdirkan tanpa dosa
Tak mau aku hidup di Nirwana sana
Hidupku ya disini, dinamis
Cukup jalani layaknya pohon

Ya, pohon Sansevieria
Atau pohon Bintaro pun tak apa